Memahami Politik NU

Godaan politik praktis begitu besar dan berhasil ‘menggoncang’ Nahdlatul Ulama (NU) sekaligus memacu birahi poltik para petingginya. Perdebatan kalangan Nahdliyin (sebutan untuk warga NU) masih panas seputar boleh atau tidaknya para pemimpin struktural NU terjun ke dunia politik praktis. Belakangan, Masdar F. Mas’udi, Ketua Pengurus Besar NU, menyayangkan sikap kebanyakan pengurus NU yang lebih mengedepankan pemenuhan birahi politik mereka dibanding konsisten mengurusi NU (Jawa Pos, 18 Februari 2008). Tampaknya, ada simpang-siur pemahaman di kalangan Nahdliyin terkait Khittah NU yang baru beberapa minggu lalu disegarkan wacananya pada puncak peringatan Hari Lahir ke-82 NU, di Jakarta. Kesalahpahaman Khittah, tampaknya berangkat dari ambiguitas konseptualisasinya ketika dipertentangkan dengan kenyataan. Bukan hal aneh, sebagian petinggi NU berani mengambil bagian dalam aktivitas politik praktis. Ditambah lagi, keikutsertaan mereka sangat vulgar dan terang-terangan, tanpa risih dan malu pada organisasi NU-nya. 

Sementara, Nahdliyin (baca: masyarakat) dipusingkan dengan kontradiksi sikap politik sebagian pengurus NU. Kegamangan masyarakat mengerucut pada persoalan: bolehkah tokoh yang aktif di kepengurusan NU, berpolitik praktis? Apakah keikutsertaan beberapa tokoh di kepengurusan NU dalam wilayah politik bisa dipahami sebagai salah satu langkah strategis NU? Sebelum menjawab persoalan di atas, ada baiknya memahami terlebih dulu posisi dan peran NU itu sendiri.Sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, NU harus mampu mensinergikan antara tiga peran utamanya, yaitu: 

(1) menanamkan corak keberagamaan tradisional yang moderat dan toleran (Bruinessen:1999:3-8); 

(2) memberdayakan masyarakat di bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya; dan, secara umum, 

(3) mempertahankan, membangun, dan membangun bangsa dan negara. 

Tiga pilar utama peran NU kemudian disarikan dalam rumusan strategi politis sebagai senjata top-down, di samping senjata bottom-up melalui pemberdayaan dan pendekatan sosio-kultural. Strategi politik yang dimaksud terbagi tiga; pertama, politik kebangsaan. Nahdlatul Ulama (NU) punya tanggung jawab mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan menolak bentuk disintegrasi apa pun. Fatwa Jihad NU pada Oktober 1945 dan tausiyah tentang ishlah 1998 adalah fakta sejarah sebagai bentuk penerjemahan politik kebangsaan NU. Kedua, politik kerakyatan. NU memahami agama tidak melulu sebagai “biro perjalanan ke surga”, tetapi lebih sebagai agen perubahan sosial. 

Politik kerakyatan menemukan bentuknya dalam pemberdayaan masyarakat, pendampingan dan perjuangan atas hak-hak rakyat dan kaum tertindas. Peningkatan dan pemerataan pendidikan, dakwah keagamaan, pemberdayaan ekonomi kecil-menengah terus dimaksimalkan guna mewujudkan civil society. Ketiga, politik kekuasaan atau bisa disebut politik NU. Guna memuluskan perjuangan mewujudkan civil society dan kemajuan bangsa, NU menganggap perlu mengambil peran dalam perpolitikan. 

Jalur politik menjadi salah satu pintu efektif mewujudkan mimpi terciptanya bangsa yang beradab. Politik NU adalah strategi aktualisasi peran NU dalam ranah politik bangsa ini.Persoalan muncul dalam hal memahami politik kekuasaan NU yang terakhir tadi. Merujuk Khittah pada Muktamar NU di Situbondo, Jawa Timur (Jatim), 1984, NU sejatinya mengambil jarak dengan partai politik (parpol) dan kekuasaan. Maksudnya, kontribusi NU pada ranah politik praktis dibatasi pada perannya sebagai kontrol dan menyumbang gagasan balik (solusi) sebagai hasil pembacaan utuh atas problem bangsa. NU semestinya mampu menempatkan diri: kapan bersinergi dan kapan membuat jarak dengan kekuasaan dan parpol. 

Dengan moderasi sikap NU seperti itu, peran pemberdayaan masyarakat tidak akan terabaikan. Kekeliruan menerjemahkan politik kekuasaan NU menghadirkan fenomena politisasi NU. NU dijadikan kendaraan oknum tertentu untuk memuaskan hasrat politik dan kepentingan mereka sendiri. Peran NU sedemikian rupa ditundukkan ke dalam kepentingan yang berdimensi pribadi, kelompok, dan golongan. Tampaknya, perwujudan politisasi NU dalam politik praktis sangat kental terutama pada momen pemilihan kepala daerah dan pemilihan umum nasional.Momen pemilihan gubernur Jatim 2008, menampakkan adanya indikasi politisasi NU. Bahkan, di beberapa daerah di Jatim, jabatan pengurus NU disandingkan dengan jabatan publik sekaligus. Alih-alih, kenyataan itu dianggap lumrah terjadi sehingga tak mampu membuka mata para petinggi NU untuk berusaha menyelesaikan persoalan itu.Murni terjun di ranah politik praktis tanpa menanggalkan baju ke-NU-annya adalah penyimpangan khitah NU—kalau bukan pengkhianatan. 

Adapun peran politik NU tidak lalu hanya diterjemahkan secara telanjang untuk berkecimpung langsung di dunia politik praktis.Butuh ketegasan dan komitmen NU, secara keorganisasian, terhadap pengurusnya yang terlibat di politik praktis. Memilih Khittah, berarti tidak mentolerir ‘pengkhianatan’ atasnya. Jangan sampai Khittah NU dituduh hanya sekedar kedok untuk melindungi syahwat politik orang tertentu.Lebih jauh, tuntutan dipenuhinya ‘takdir’ Khittah ialah dalam rangka mempertegas garis gerak sosio-politik NU itu sendiri demi tercapainya pencerahan dan transparansi politik bagi bangsa (Masmuni Mahatma: 2005:14). Tanpa ketegasan, Khittah akan berhenti sebatas wacana di satu sisi, dan makin meningkatnya libido politik sebagian nakhoda NU untuk mempolitisasi NU guna kepentingan dirinya sendiri.

Solidaritas Palestina

Solidaritas masyarakat Indonesia terhadap warga Palestina di Jalur Gaza semakin kuat. Selain melakukan aksi, bantuan dana untuk korban agresi militer Israel terus mengalir.  

Senen (12/1), BEM Universitas Madura (UNIRA) bekerja sama dengan Pengurus cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PC PMII) Pamekasan, Madura menyerahkan bantuan dana kemanusian ke Kedutaan Besar Palestina di Jakarta. 

"Ini bentuk dari solidaritas kami, mahasiswa Universitas Madura dan PMII Cabang Pamekasan terhadap rakyat Palestina yang menjadi korban kekejaman militer Israel," tegas Alan Kaisan, Presiden BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) UNIRA. 

Saat menyerahkan bantuan Alan datang bersama M Faridi (Ketua Komisariat PMII UNIRA), M Farid Affandi (Mendagri BEM UNIRA), Faris Susanto (Sekjen BEM UNIRA), dan Surahmat (Koordinator Depora BEM UNIRA). Hadir pula perwakilan PB PMII Lukman Hakim. 

Menurut Alan, BEM UNIRA dan PMII Pamekasan menggalang bantuan dana dari masyarakat di kawasan Monumen Arek Lancor Pemekasan selama tiga hari pada 02-05 Januari lalu. Dari penggalangan tersebut terkumpul dana sebesar Rp. 12.900.000. "Jumlahnya memang tidak seberapa. Tetapi ini bagian dari komitmen kami untuk membantu warga Palestina," imbuh dia. 

Lebih lanjut dikatakan, selain menggalang dana, PMII dan BEM UNIRA juga sempat melakukan aksi demonstrasi ke DPRD Pamekasan. Aksi itu mendapat support dari Forum Ulama Madura. 

Sementara itu, Farid Mehdawi dari Kedubes Palestina menyampaikan terima kasih atas solidaritas mahasiswa dan masyarakat Madura. Menurut dia, problem di Palestina bukan konflik agama, tetapi kolonialisme Isreal terhadap tanah Palestina. "Muslim di seluruh dunia harus bersatu untuk melawan kolonialisme zionis Isreal," ujarnya. Mehdawi menyatakan siap datang ke Madura jika diundang untuk menjelaskan problem masyarakat Palestina

Dwi Winarno Memimpin PKC PMII DKI JAKARTA

Selasa, 13 Januari 2009

Regenerasi kepemimpinan Pengurus Koordinator Cabang (PKC) PMII DKI Jakarta kembali dimulai. Sejumlah calon saling beradu visi-misi di arena Konferensi Koordinator Cabang (KONKORCAB) yang digelar di Wisma Atlet Ragunan, Jakarta Selatan pada Sabtu-Minggu (10-11/01/02009). 

Berdasarkan isu yang berkembang di arena Konkorcab, ada sekitar 14 kandidat yang berkompetisi untuk posisi Ketua Umum sebelumnya, Yazid Hamzah. Mereka berebut dukungan 5 cabang PMII se-Jakarta. 

Nama-nama kandidat yang muncul antara lain Muhammad Firdaus dan Anas Nasrullah dari cabang Jakarta Selatan. Firdaus yang akrab disapa Ibon adalah salah satu Ketua PKC Jakarta. Sedangkan Anas tercatat pernah menjadi Ketua Umum PMII Cabang Jakarta Selatan.

Calon lain adalah Laode Kamaluddin (UNIJA), mantan Ketua Umum PMII Jakarta Timur Saidah Sahla (Lala), Ali Ramadhan (UPI YAI) Wartawan Opini Indonesia, Mantan Ketua Umum PMII Jakpus Aris (STAINU), Dwi Winarno, mahasiswa S2 UI, alumnus Universitas Bung Karno (UBK), Arif Rahman (UBK), dan Mahmid (Universitas Trisakti Jakbar). 

Senior PMII DKI Jakarta Arif Rahman berharap kegiatan Konkorcab PMII DKI Jakarta dapat membawa hasil yang lebih baik. Kader yang terpilih menjadi ketua umum nantinya bisa di terima di semua lini dan menciptakan paradigma yang dapat beradaptasi perkembangan dunia. 

Arif yang baru terpilih sebagai Ketua Komite Nasional Pemiuda Indonesia (KNPI) DKI ini menambahkan, Ketua Umum terpilih harus mampu mempersiapkan kader yang siap pakai dan punya kompetensi, tidak melulu terjebak dalam mainstream politik."Harapan saya mudah-mudahan Konkorcab ini membawa hasil yang lebih baik,menelurkan kader yang siap pakai," kata dia.

Setelah melalui proses panjang, PKC (Pengurus Koordinator Cabang) PMII DKI Jakarta kini memiliki ketua umum baru. Dalam Konferensi Koordinator Cabang (Konkorcab) di Wisma Atlet Ragunan yang berakhir Senen dini hari (12/1) kemarin, Dwi Winarno terpilih sebagai Ketua Umum PKC PMII DKI periode 2009-2011.

Awalnya, jumlah kandidat calon ketua umum berjumlah 15 orang. Namun, sampai prosesi debat kandidat, hanya menyisakan 4 kandidat. Mereka antara lain Dwi Winarno, Laode Kamaluddin, Ali ramadhan, dan M. Firdaus. 

Winarno akhirnya menang mutlak dengan mengatongi 4 suara. Ia menyisihkan M Firdaus yang meraih 1 suara. Sedangkan 2 kandidat lain tidak mendapatkan dukungan.

Arsip Blog